IMEDIANUSANTARA, Jakarta – Nama Senator SA, Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPD RI asal Kalimantan Tengah, kembali menjadi sorotan setelah dugaan perselingkuhannya dengan anggota TNI, Sertu HDD, terungkap. Kasus ini semakin mencuri perhatian publik karena sebelumnya SA juga dikaitkan dengan dugaan perzinahan bersama Pratu SRR. Namun, di tengah polemik yang berkembang, muncul informasi terbaru bahwa SA dan suaminya, PSA, sudah dalam proses perceraian.
Dugaan Perselingkuhan dan Penggerebekan di Apartemen
Kabar perselingkuhan ini mencuat setelah penggerebekan di sebuah apartemen di Pluit, Jakarta Utara, pada 24 Januari 2025. Istri Sertu HDD disebut-sebut melaporkan kejadian tersebut kepada PSA, yang kemudian menindaklanjuti dengan melaporkan kasus ini ke POMDAM Jaya.
Sebelumnya, pada 23 Januari 2025, SA juga dikabarkan telah diperiksa oleh POM TNI atas dugaan hubungan terlarang dengan Pratu SRR. Namun, sehari setelah pemeriksaan, ia justru kembali tertangkap basah dalam situasi yang sama dengan Sertu HDD.
Benarkah SA dan PSA Sudah Berpisah?
Di tengah ramainya pemberitaan, sumber terbaru menyebutkan bahwa SA dan PSA kini sudah dalam proses perceraian. Jika benar, maka kasus ini bisa dianggap sebagai urusan pribadi dan ranah keluarga, bukan lagi sekadar skandal yang menyeret nama lembaga negara.
Namun, publik masih mempertanyakan
implikasi moral dan etika atas kejadian ini, terutama mengingat SA menjabat sebagai Wakil Ketua BK DPD RI, sebuah posisi yang seharusnya menjunjung tinggi integritas dan kehormatan lembaga.
BK DPD RI Akan Ambil Sikap?
Meskipun dugaan perselingkuhan ini kini disebut sebagai urusan pribadi, banyak pihak menilai bahwa BK DPD RI tetap harus memberikan klarifikasi. Apakah lembaga ini akan mengambil tindakan etik, ataukah kasus ini akan dibiarkan berlalu begitu saja?
Sampai saat ini, belum ada pernyataan resmi dari SA maupun BK DPD RI terkait status pernikahannya maupun langkah yang akan diambil setelah isu ini mencuat.
Apakah publik akan menerima jika kasus ini dianggap sekadar urusan pribadi? Ataukah tetap perlu ada sanksi etik bagi pejabat publik yang terseret skandal?